Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengumumkan pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) tahun ini. Hal tersebut disampaikan usai dipanggil ke Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo, Senin 27 Mei 2024. Sebelumnya Mendibudristek dicecar pertanyaan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR-RI pada Selasa 21 Mei 2024 lalu.
Masyarakat bisa menilai keputusan Kemendikbudristek menaikkan UKT yang kontoversial, kemudian membatalkannya usai dipanggil Presiden, menunjukkan sebuah produk kebijakan publik yang gegabah. Sebuah aturan diterapkan tanpa mempertimbangkan secara matang aspek sosial dan ekonomi yang bakal terjadi.
Keputusan menaikan UKT tanpa batasan yang jelas mengakibatkan tiap PTN bervariasi menaikkan sesuai kebutuhannya. Kalangan mahasiswa yang melakukan protes menilai bahwa telah terjadi komersialisasi di PTN.
Alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari total APBN pada faktanya tidak membuat pendidikan menjadi murah. 660,9 triliun dana APBN tiap tahun untuk pendidikan masih belum dimanage pemerintah dengan benar. Alibi bahwa jenjang kuliah bukan menjadi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah semakin menambah polemik sosial.
Mahasiswa yang kuliah di PTN notabene hasil seleksi ketat, baik secara kualitas maupun kemampuan akademiknya. Dosen dan karyawan PTN digaji oleh negara, namun saat mahasiswa pilihan di PTN masih dibebankan biaya kuliah tinggi pada akhirnya melahirkan persoalan baru. Kuliah di PTN bukan lagi menjadi sebuah kebanggaan, prestasi akademik mahasiswa PTN tetap bertemu dengan biaya kuliah mahal.
Di sisi lain, Pemerintah masih gagal membuka lapangan kerja baru bagi bagi masyarakat para pembayar pajak. Pintar saja tidak cukup, mesti ada biaya untuk mendapatkan ijasah. Selanjutnya masih harus bersaing dengan ribuan pencari kerja lain yang antri untuk ratusan lowongan kerja saja.
Kenaikan UKT adalah sebagian kecil persoalan pendidikan yang belum tuntas diatasi oleh Pemerintah. Generasi ini butuh dicerdaskan untuk memperbaiki peradaban bangsa. Pendidikan yang menjadi kunci mengentaskan kemiskinan masih sekedar menjadi jargon. Yang kemudian terjadi jurang sosial semakin lebar saat hanya kelas ekonomi menengah saja yang bisa menyelesaikan jenjang sarjana.
Dan kita saat ini menjadi saksi, bahwa janji makan siang dan susu gratis lebih membius daripada tawaran program misi Ganjar Pranowo menyekolahkan satu sarjana untuk satu keluarga miskin. Apa nikmatnya dicekoki gratisan tapi kuliah menjadikan sebagian kita justru terancam miskin karena mahalnya biaya?
Kuliah bagi kelas tertentu menjadi wajib, bagi sebagian lagi adalah cita-cita dan kini bagi sebagian besar lapisan masyarakat bawah hanya menjadi mimpi. Masyarakat binggung, Pemerintah ikut bingung?