Tugas pemimpin adalah memastikan keadilan dengan jalan mempersempit kesenjangan tanpa memikirkan untung rugi – kalimat bijak
Pemimpin yang baik itu dilahirkan, bukan diciptakan. Melahirkan pemimpin dimulai dari proses pemikiran ketika melihat jurang perbedaan adalah sebuah tantangan bagaimana menjembatani kedua sisinya.
Kabupaten Mimika menjadi contoh kecil tempat dengan jurang perbedaan yang besar. Kota yang melimpah sumberdaya alamnya namun kesejahteraan masih berpihak pada golongan tertentu.
Penduduk asli dan pendatang hidup berdampingan dengan sekat sosial, karena aspek keadilan belum dijembatani oleh para pemimpinnya. Simpul-simpul bisnis dan usaha masih menjadikan warga asli sebagai konsumen yang dilayani para pendatang.
Komposisi warga pra sejahtera masih didominasi penduduk asli yang tersebar di berbagai pelosok. Mereka yang sebenarnya para pemilik aset SDA namun kalah bersaing dalam kemampuan mengelolanya.
Persoalan sosial inilah yang seharusnya menjadi agenda utama siapapun nantinya dipercaya masyarakat untuk menjadi kepala daerah. Calon Bupati yang melayani warga, bukan sosok perwakilan kepentingan di luar Mimika.
APBD 7,3 triliun dengan penduduk tidak lebih dari setengah juta jiwa, seharusnya lebih dari cukup untuk membangun sebuah pemerataan ekonomi dan kesejahteraan. Masih banyaknya tempat tinggal tidak layak huni, problem stunting, air bersih dan layanan pendidikan serta kesehatan yang belum merata melahirkan tanda tanya besar, kemana habisnya dana triliunan rupiah selama ini?
Problem klasik kelas elite di Mimika adalah rendahnya kesadaran berbagi kesejahteraan. Bagaimana mereka berlomba mengambil sebanyak-banyaknya limpahan dana yang ada untuk ditumpuk, bukan untuk berbagi.
Kursi kepala daerah yang bulan depan akan diperebutkan, adalah pertaruhan perbaikan Mimika 5 tahun ke depan. Meskipun populasi warga asli yang lebih sedikit dibanding pendatang, justru merekalah yang seharusnya butuh diprioritaskan.
Sarana dan fasilitas gratis bagi mereka adalah bentuk keadilan yang harus dilaksanakan, bukan sebatas janji kampanye. Pendidikan, gizi dan tempat tinggal layak huni gratis untuk mereka menjadi kebijakan konkrit pemerintah demi mempersempit jurang kesejahteraan.
Dana melimpah tanpa prioritas adalah kesia-siaan. Keadilan hanya retorika. Dan apabila itu terus terjadi, maka Mimika menjadi surga bagi pendatang namun neraka bagi warga aslinya.
Ini bukan tentang pribumi dan non pribumi, tetapi tentang kemanusiaan yang adil dan beradab.
****
Penulis : Dahono Prasetyo – Litbang Demokrasi