Scroll untuk baca berita
Artikel

Kode Keras Tuhan

107
×

Kode Keras Tuhan

Sebarkan artikel ini

Penulis : JD Kuncoro 

Menurut Anthony Scaramucy, usia peradaban manusia telah mencapai lebih dari 5.500 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, manusia telah belajar banyak hal, mulai dari cara bersosialisasi, berproses menemukan Tuhannya, berjuang menemukan tehnologi dlsb. Konflik antar manusia, konflik dengan mahluk hidup lain, “konflik” dengan lingkungan hidupnya telah dialami berkali-kali. Namun toh, manusia seringkali tidak belajar. Meskipun usia bumi dan manusia kian menua, masyarakat dunia tidak menjadi lebih bijak. Konflik berbasis sektarian bukannya mereda, sebaliknya justru menguat. Kekejaman ala barbarian yang seyogyanya telah musnah ditelan peradaban, masih menjadi pilihan hingga hari ini.

Tak lekang dalam ingatan kita, tatkala Amerika memilih Donald Trump menjadi Presiden pada 8 November 2016, dunia was-was menantikan apa yang akan dilakukannya untuk mewujudkan jargon America first, suatu jargon pongah ditengah spirit kerjasama internasional. Segera setelah itu dunia mendapat jawaban, genderang perang dengan China ditabuh, era perang dagang dimulai, dua raksasa beradu, dunia meradang, ekonomi melemah, kemiskinan kian sulit diatasi. Nampaknya, situasi itu bakal terulang November 2024 paska Pilpres Amerika. The winter is coming.

Kini.. dunia memasuki suatu masa dimana ego manusia dominan. Mayoritas dan kuantitas memiliki nilai tawar lebih kuat dan lalu sebagian besar kita menghambakan diri terhadapnya. Alhasil unjuk kekuatan menjadi lazim. Flexing menjadi gaya hidup, tirani mayoritas nampak seperti bukan suatu kesalahan. Sudah tidak terhitung berapa jumlah kehancuran yang diakibatkan oleh kecenderungan manusia untuk mendominasi. Manusia tidak pernah belajar dari kesalahannya.

Namun ditengah euphoria ini mahluk manusia tiba-tiba dihentakkan oleh datangnya mahluk Tuhan berukuran amat sangat kecil, yang mampu meluluhlantakkan semua kesombongan manusia. Bukan senjata super canggih, bukan negara super power, bukan kekuatan kelompok besar, melainkan mahluk super kecil yang bahkan tidak terlihat dengan mata telanjang. Ialah corona virus si penyebab wabah Covid-19.

Seketika hilanglah sekat-sekat yang kita bangun sebelumnya, karena ternyata salah dan tidak berguna. Hanya kebebalan yang membuat kita mempertahankan sekat antar umat manusia itu.

Apa pesan moralnya? kekuasaan, kekayaan, kejayaan bukanlah sesuatu yang hakiki, sebaliknya justru kerendah-hatian. Yang kecil terbukti dapat mengalahkan yang besar, maka jangan pongah ketika menjadi “orang besar”, atau menjadi penguasa dengan dukungan mayoritas, atau menjadi bagian dari kelompok besar. These too shall pass… kata orang bijak.

Dengan wabah covid-19 yang lalu, kita semua dipaksa menunduk, merangkul orang yang berbeda, bahkan mungkin orang/bangsa yang kita benci. Karena bisa jadi merekalah yang akan menolong kita. Sebaliknya orang yang kita sayangi justru tidak berdaya.

Presiden Jokowi memenangkan dengan telak hampir semua skenarionya. Anak sulungnya jadi Wakil Presiden, anak menantunya jadi Walikota dan akan menjadi Gubernur kalau menang, anak bungsunya jadi Ketum PSI hanya selang 2 hari bergabung ke PSI. Tidak cukup sampai disitu, MA mengubah aturan yang sangat aneh, batas usia dihitung berdasarkan saat pelantikan, sebelumnya saat penetapan sebagai Calon Kepala Daerah. Alhasil si Bungsu Kaesang layak menjadi calon Gubernur/Wakil Gubernur. Cukup? belum. KIM – Plus (mega koalisi partai politik) dibentuk dengan maksud untuk menguasai sebagian besar posisi Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia dengan cara mengunci lawan politiknya. Harapannya lawan politik (baca : PDIP) tidak dapat mengajukan calon Kepala Daerah, sehingga hanya ada satu calon Kepala Daerah melawan kotak kosong atau calon boneka. KIM – Plus merajalela, kekuasaan langgeng. Begitu harapan mereka.

Namun tiba-tiba, MK mengabulkan  gugatan dan memutuskan aturan baru yang membuyarkan semua skenario KIM-Plus. Threshold baru berlaku, partai politik tanpa dukungan mayoritas dapat mengajukan calon kepala daerah berbekal dukungan 6,5 – 10 % (suara tergantung jumlah penduduknya), yang tadinya 20% kursi DPRD atau 25 % suara. Partai politik non KIM-Plus menyambut gembira ditengah sorak sorai masyarakat. Salut dengan keberanian MK. Ini adalah terobosan yang dapat mengembalikan demokrasi dan juga marwah MK setelah redup diterpa Putusan MK no 90/2023.  Apakah KIM Plus menerima? tentu tidak, kekuasaan  telah addicted bagi mereka. Secara super kilat mereka menggelar rapat Baleg DPR untuk melawan Putusan MK 60/2024.  Alhasil rakyat marah, mahasiswa bergerak secara masif di lebih dari 16 kota di Indonesia, chaos dimana-mana. Mereka menuntut demokrasi dikembalikan, kekuasaan diakhiri, Keputusan MK dihormati. Hanya dengan cara ini persekongkolan di DPR berhenti. Sayang sekali, kekerasan dan kerusakan telah terjadi. No chaos no justice. DPR tidak peka. Tone deaf kata netizen.

Ini semua sejatinya adalah “kode keras” Tuhan, dengarlah, belajarlah, menunduklah. Umat manusia wajib  bekerjasama, bergotongroyong mengatasi masalahnya. Jangan memanjakan keserakahan. Hilangkan kebencianmu terhadap ciptaan Tuhan yang lain, karena kita semua sama derajatnya, tidak ada yang lebih istimewa diantara kita. Kita sendirilah yang rajin membeda-bedakan diri dengan baju kelompok atau kekuasaan politik, padahal sejatinya kita sama. Mungkin saat ini anda berkuasa, besok orang lain menggantikan anda. Jangan melupakan sifat kesementaraan yang hakiki milik manusia, karena keabadian hanyalah milik Sang Pencipta.

Tuhan tidak menghukum kita, alih-alih, Dia justru memberikan isyarat Nya. Ngono yo ngono, ning ojo ngono kata orang Jawa. Namun semuanya berpulang kepada pilihan kita, memilih bijak atau bebal semuanya mengandung implikasinya masing-masing.

JD Kuncoro Pemerhati Sosial dan Politik Tinggal di Semarang

Jasa Pembuatan dan Maintenance Website Murah

Tinggalkan Balasan