Institusi Peradilan berstatus independent yang dilindungi undang-undang. Segala keputusannya mutlak demi keadilan dan tidak terpengaruh intervensi kepentingan di luar marwah hukum. Vonis Majelis Hakim yang telah melaui proses persidangan semestinya dihormati semua pihak, tidak terkecuali institusi lain yang dinyatakan kalah.
Konflik lahan di Jatikarya, Bekasi seluas 48 hektar yang melibatkan warga ahli waris dengan institusi TNI berlangsung sejak tahun 2000 di Pengadilan Negeri Bekasi. Institusi TNI merasa telah membeli dari pihak swasta yang menjadi perantara pembebasan lahan tersebut. Proses peradilan perdata berlangsung beberapa tahun hingga di tingkat Mahkamah Agung. Hasilnya 8 tahun kemudian Mahkamah Agung memutuskan PK I No 218/Pdt/2008 yang memenangkan warga ahli waris (Candu bin Godo dkk) sebagai pemilih sah lahan Jatikarya.
Tidak berhenti pada putusan tersebut, upaya hukum terus dilakukan pihak yang kalah dalam PK MA tersebut. Jalan panjang mendapatkan keadilan warga ahli waris Jatikarya masih terkendala oleh upaya hukum lain yang harus dihormati.
Di tengah proses hukum yang terus berjalan, pada tahun 2017 sebagian lahan seluas 4,7 hektar terkena Proyek Strategis Nasional jalan tol Cimanggis Cibitung. Pihak Kementerian PUPR dengan segala konsekwensinya harus menyelesaikan proyek di atas lahan yang masih berperkara hukum. Uang ganti rugi lahan sebanyak 218 milyar dititipkan (dikonsinyasi) di PN Bekasi, dan wajib diserahkan kepada pihak yang memenangkan perkara.
Hingga di tahun berikutnya MA mengeluarkan putusan PK II No 815/Pdt/2018 jo PK I No 215/Pdt/2008 yang menyatakan warga masyarakat Jatikarya (Candu bin Godo) tetap sebagai pemilik yang sah. Putusan tersebut inkrah (berkekuatan hukum tetap) pada tahun 2019.
Atas dasar putusan MA tersebut Pengadilan Negeri Bekasi yang dipercaya Kementerian PUPR menyimpan dana konsinyasi ganti rugi lahan tol wajib menyerahkan kepada warga ahli waris Jatikarya. Apa yang terjadi tahun 2019 sejak putusan inkrah hingga tahun 2024 justru bukan proses penyerahan uang konsinyasi.
Kuasa hukum warga yang selama ini memperjuangkan keadilan, oleh institusi TNI justru didakwa melakukan pemalsuan barang bukti kepemilikan lahan Jatikarya pada tahun 2023. Status tersangka pemalsuan barang bukti mengharuskan DB kuasa hukum warga Jatikarya mendekam di penjara. Sidang kasus pidana DB dimulai pada awal bulan Januari 2024 hingga Mei 2024 ini masih berproses dengan menghadirkan puluhan saksi.
Apakah PN Bekasi mengingkari produk hukum yang dihasilkannya sendiri? Akankah putusan perdata MA yang sudah berkekuatan hukum tetap terkait hak kepemilikan lahan warga dan kewajiban menyerahkan uang konsinyasi, gugur oleh perkara pidana baru dalam sidang yang sudah berlangsung hampir 5 bulan?
Situasi semakin bias ketika Ketua PN Bekasi menerima kunjungan petinggi TNI bersama pihak pelapor kasus pidana tersangka DB pada hari Rabu (22/5/2024). Seperti disampaikan oleh pihak Humas PN Kota Bekasi, Suparman, SH, MH yang membenarkan pertemuan tersebut.
Akankah sidang pidana tersangka DB dengan bukti yang lemah mengharuskan petinggi TNI dari pihak pelapor perlu turun tangan mengintervensi lembaga peradilan ?
Barangkali benar kata mantan Menkopolhukam Prof Dr H. Mahmud MD, SH, SU, M.I.P bahwa hukum dan marwah konstitusi kita sedang ditunggangi kekuasaan, tidak lagi independent. Jika benar itu yang sedang terjadi, berarti negara sedang mendzolimi rakyatnya sendiri.
Penulis: Dahono Prasetyo – Pemerhati Sosial