Pilkada serentak sebagai proses Demokrasi melahirkan rivalitas antar paslon dalam upaya menarik simpati warga pemilih. Tidak jarang muncul persaingan tidak sehat pada suatu momentum, tak bisa dihindari. Aksi yang cenderung merugikan Paslon lain setidaknya memiliki alasan utama, yaitu faktor militansi dukungan dan wujud kekecewaan.
Insiden pengerusahan baliho salah satu paslon peserta Pilkada kabupaten Mimika yang terjadi hari Minggu (3/11/2024) ditanggapi oleh pengamat politik, Agung Wibawanto dari Litbang Demokrasi. Menurut Agung meskipun tidak diketahui siapa sosok yang melakukan perbuatan anarki, namun bisa dianalisa pangkal persoalannya.
“Siapapun pelakunya, khusus kasus di Pilkada Mimika tidak lepas dari ungkapan kekecewaan salah satu pendukung paslon atas rilis hasil survey elektabilits terbaru. Prinsip Demokrasi belum dipahami dengan benar dan pelaku melakukannya dengan arogansi pada benda” ungkap Agung kepada awak media.
Sehari sebelum kejadian pengerusakan baliho, Lembaga survey Polimetrik merilis hasil survey elektabilitas paslon peserta Pilkada Mimika. Hasilnya menempatkan Paslon JOEL dengan 37,2% disusul Maximus-Peggi 25,5% dan Paslon AIYE mendapatkan elektabilitas 22,2%. Secara tidak langsung Agung menyebut ada korelasi yang terjadi antara rilis data statistik dengan kekecewaan oknum pendukung salah satu paslon.
“Pelakunya kecil kemungkinan masyarakat biasa yang tidak paham perkembangan politik terkait Pilkada Mimika. Karena dia mengikuti perkembangan persaingan ketat elektabilitas antar Paslon, maka hasil rilis survei dipahami sebagai tanda-tanda kekalahan. Kita lihat baleho yang dirusak bergambar Paslon pemilik elektabilitas tertinggi. Mereka pendukung militan yang mengungkapkan kekecewaan kepada paslon lain dengan aksi pengerusakan , justru akan berdampak negative elektabilitas paslon yang didukungnya” kata Agung.
Hasil survei pada prinsipnya sebagai bentuk analisa kecenderungan statistik. Dengan prosentase elektabilitas yang dimiliki paslon diharapkan menjadi acuan mengejar ketertinggalan, dan upaya mempertahankan keunggulan bagi yang teratas. Sisa waktu 3 minggu sebelum hari pencoblosan masih memungkinkan terjadi perubahan mengingat jarak persentase antar Paslon terhitung ketat.
“Survei yang dilakukan sesuai mekanismenya akan menghasilkan data yang mustahil bisa memuaskan semua pihak. Di sinilah pemahaman Demokrasi diuji kedewasaannya. Pilkada mempertaruhkan banyak hal, utamanya kapasitas dan “isi tas”. Pertaruhan isi tas cost politik jika kemudian ternyata kalah punya dampak ekonomi. Demokrasi kemudian mengenal istilah koalisi. Bagi pemenang niatan merangkul pihak yang kalah menjadi upaya rekonsiliasi politik usai pesta demokrasi. Istilahnya, mari makan pesta bareng usai itu cuci piring bersama” kata Agung
Fenomena dukung mendukung pada Pilkada di Mimika masih dinamis dengan segala antusiasnya. Pemenangnya adalah sosok harus siap merangkul lawan politik untuk kemajuan masa depan bersama Mimika ke arah yang lebih baik.
“Berpolitik sewajarnya saja, kerukunan bersaudara harus selamanya” pungkas Agung***