Penulis : Purbo Satriawan | Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melibatkan proses pengadaan tanah selalu bersinggungan dengan persoalan ganti rugi lahan milik masyarakat terdampak. Dalam istilah kekinian, Pemerintah merubah paradigma dari ganti rugi menjadi ganti untung sebagai bentuk penghargaan negara pada pengorbanan masyarakat untuk kepentingan fasilitas dan sarana umum.
Jumlah ganti untung dinilai dari banyak pertimbangan, khusus nilai tanah dan bangunan bisa berlipat lipat dari nilai NJOP, dan yang paling rumit menilai dampak sosial pada obyek lahan yang dibebaskan. Contohnya sebidang lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan warga turun temurun, namun terpaksa diambil pemerintah untuk pembangunan proyek infrastruktur.
Pemerintah mengganti berlipat kali dengan pertimbangan pemilik dapat memulai kehidupan dengan usaha baru ataupun, membeli lahan lain jika ingin tetap bertani. Namun tak jarang mereka yang beralih profesi oleh berbagai sebab gagal dalam usaha barunya, cost sosial yang tak mudah diukur efek dari hilangnya hak kepemilikan tanah.
Seberapa besar kelipatan penggantian diserahkan kepada pihak KJPP (Kantor Jasa Penilaian Publik) yang telah mendapat izin dari Kementerian Keuangan melakukakan penilaian. Penilaian KJPP menjadi acuan ganti untung.
KJPP lembaga independen bekerja di bawah sumpah dalam menaksir kepantasan nilai objek. Untuk proyek strategis nasional, pihak KJPP sudah memiliki standar dasar dalam menilai asset, sehingga dimungkinkan penggantian berlipat kali yang tentunya di atas harga nominal transaksi jual beli biasa.
Proyek infrastruktur yang melibatkan pembebasan lahan sering kali bertemu persoalan dengan berlipatnya nominal yang diasumsikan sebagai mark-up (menaikkan) harga. Istilah mark-up itulah yang sering dijadikan alibi menjerat panitia pengadaan tanah dengan modus korupsi.
Istilah ganti untung yang dilindungi undang-undang pada akhirnya seringkali bersinggungan dengan istilah mark-up pengadaan tanah. Atas dasar uraian di atas, modus korupsi dengan tuduhan mark-up nilai pengadaan tanah tidak bisa dijadikan jerat hukum apabila obyek memang benar-benar ada.
Lahan berwujud fisik dilengkapi dengan dokumen yang memuat luas beserta kepemilikannya adalah fakta obyektif. Apabila terjadi tuduhan mark-up sama halnya mengingkari niat baik pemerintah membayar dengan istilah ganti untung yang sudah pasti dinaikkan (mark-up) nilainya.
Dalam PSN pengadaan tanah sesungguhnya akan sangat relatif mendefinisikan mark-up. Jika kemudian ditemukan obyek bodong yang mendapatkan ganti untung, maka pihak penyidik bisa menggunakan pasal pemalsuan dokumen, bukan tindak pidana korupsi dengan modus mark-up nilai penggantian.
Di banyak kasus sengketa ganti rugi lahan proyek infrastruktur, tidak jarang pihak penerima ganti untung harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan haknya sesuai putusan hukum. Nilai ganti untung saat berperkara tidak berubah meski harus menunggu selama 10 tahun kemudian baru diserahkan usai menang perkara.
Bisa bayangkan betapa tragisnya apabila itu berupa obyek bangunan tempat tinggal. Sudah menjadi jalan tol dengan ganti untung 5 kali lipat namun selama 10 tahun tidak punya rumah karena uang ganti untung tertahan di pengadilan.
Butuh kebijaksanaan ekstra dalam menyikapi kasus pengadaan tanah proyek strategis nasional. Negara tidak boleh mendzolimi rakyatnya sendiri dengan alasan penegakan hukum secara sepihak. Semoga tulisan ini bisa menjadi catatan bagi pihak pengadilan dan penegak hukum yang mengawal kasus pengadaan tanah***
Penulis : Purbo Satriawan – Pemerhati Sosial Litbang Demokrasi