Di Jawa Tengah dan Pilpres sebelumnya ada sosok fenomena si rambut putih yang kini mulai dilupakan. Di Indonesia Timur juga ada rambut putih lain yang kini sedang menggores catatan sejarah baru. Johannes Rettob, S.Sos., M.M. ditetapkan KPU sebagai Calon Bupati pemilik suara terbanyak dalam Pilkada Mimika berduet dengan Emanuel Kemong
Kader PDI Perjuangan ini menjadi salah satu menyelamatkan marwah Demokrasi yang kini sedang berlumur money politik dan oligarki kekuasaan.
Dalam sebuah pertemuan, penulis mencoba bertanya apa yang mendasari si rambut putih itu terjun ke dunia politik. John dengan kemapanan ekonomi dan sudah selesai dengan dirinya sendiri sampai rela pulang ke kampung halamannya:
“Ada langit dan bumi di tanah Mimika. Puluhan ton emas bersanding dengan ratusan ton loyang. SDA melimpah di Mimika belum mampu mensejahterakan warga secara merata. Pengelolaan daerah selama ini belum mampu mengatasi kesenjangan ekonomi” begitulah kalimat yang saya simpulkan dari dialog kami.
Di Mimika kehidupan berjalan hingar bingar di pusat kota, namun hening di pelosok pedalaman. Dentuman music DJ dari sebuah café sayup terdengar sampai ke perkampungan adat yang masih hidup di jaman batu.
Malaria, stunting, anak tak sekolah dan kesulitan air bersih di gubug-gubug rumbai menjadi persoalan sosial di tengah kehidupan kota pertambangan emas penyumbang devisa triliunan rupiah tiap tahun.
John Rettob menerawang sambil membayangkan Mimika seharusnya bisa berubah jauh lebih baik jika dikelola dengan hati. Pertarungan menjadi Bupati Mimika tidaklah semudah menuliskan catatan ini.
John harus berhadapan dengan 2 kandidat lain yang mengandalkan ambisi isi tas daripada kapasitas. Politik transaksional di Mimika menjadi pemandangan lazim yang sulit untuk dilawan.
Publik masih ingat kriminalisasi kasus hukum yang menimpa John sebelum pencalonannya berhasil dilewati. Fitnah dari lawan politik adalah santapan berita tiap hari. Hingga di masa kampanye Pilkada, praktik money politik menggerus dukungan murni warga padanya.
Tidak berhenti di simpul itu, pencurian hasil suara dan tidak netralnya penyelenggara di beberapa distrik berlangsung sporadis. John dan tim bertahan dengan sisa suara rasional warga yang menolak transaksi suara.
Babak belurnya John Rettob di banyak hal akhirnya melahirkan babak baru. 77.818 suara atau 35,7% cukup untuk menjadikan John Rettob unggul dalam perhitungan suara. Sempat saya berkirim komentar kepada salah satu orang yang merancang strategi pemenangannya. Sosok yang selama ini mendesain raihan suara di balik layar :
“Angka 77.818 itu seukuran penonton bola full stadion GBK. 35,7 % itu suara akal sehat di Mimika. Sisanya 64,3% suara transaksional, beruntungnya jumlah itu sibuk diperebutkan 2 paslon lain. Kalaupun dibagi rata berdua jumlahnya masih kalah dengan suara loyalis John Rettob?”
Di tengah amburadulnya pesta Demokrasi. Mimika layak mendapat pemimpin ideal. Menjadi kado Natal bukan dari sosok legenda Santa Claus, tapi dibawa oleh mama-mama dan pace-pace yang masih tulus mencintai bumi, air, tanah dan udara Mimika. Diiringi senyum bangga para leluhurnya.
Perjuangan akal sehat belum usai, masih ada gugatan di Mahkamah Konstitusi. 2 paslon AIYE dan MP3 belum menerima hasil penghitungan suara KPU dan menganggap suara transaksional mereka dicuri.
Siapa yang mencurangi suara mereka, warga di Mimika sudah paham. Suara kemenangan JOEL murni dukungan akal sehat warga tanpa tanpa transaksional. Dua paslon penggugat KPU sedang berebut klaim suara yang tertukar
Mahkamah Konstitusi punya aturan, mana gugatan yang bisa diproses dan mana yang harus ditolak karena tidak memenuhi syarat. 2 paslon menggugat bukan untuk membalikkan keadaan menjadi pemenang. Mereka hanya berusaha menunda pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Mimika 2025-2030 Johannes Rettob-Emanuel Kemong.
Kemenangan akal sehat di Mimika harus dikawal tuntas hingga ke MK. Memastikan kemenangan berkekuatan hukum tetap. Lalu bersama menata ulang Mimika pasca Pilkada dengan rekonsiliasi.
Eme Neme Yauware – Bersatu, Bersaudara Membangun
–
Penulis : Dahono Prasetyo – Litbang Demokrasi