Penulis : Purbo Satrio
Debat kandidat kepala daerah menjadi bentuk adu gagasan yang dikemas dalam dialog intelektual. Visi misi hingga gaya komunikasi calon kepala daerah akan terlihat jelas di acara interaktif yang biasanya digelar terbuka untuk publik
Bagi kandidat benar-benar punya kapasitas sebagai kepala daerah, acara debat publik menjadi momentum kampanye penyampaian gagasan secara langsung. Namun berbeda bagi kandidat yang kapasitasnya “pas-pasan”, dalam arti gagasan dan penyampaian tidak sejalan dikarenakan kendala komunikasi publik.
Pilkada Mimika yang menghadirkan 3 paslon putra daerah terbaik, butuh diberi kesempatan berdebat secara sehat. Jika selama ini gagasan visi misi hanya beredar di media, maka kemasan dialog antar paslon akan menghasilkan obyektifitas yang disaksikan publik.
Pengusaha Alexander Omaleng, tokoh aktivis Papua Maximus Tipagau dan sosok birokrat Johannes Rettob sah terdaftar di KPU menjadi calon Bupati Mimika atas dukungan partai politik sebagai syarat utama. Ketiganya punya basis dukungan massa dengan fanatisme yang berbeda pula.
Hasil survey elektabilitas terbaru dari Sinergi Data Indonesia menggambarkan kekuatan ketiganya tidak berbeda jauh. Alexander Omaleng dengan 20%, Maximus Tipagau 24,32% dan Johannes Rettob 30,68%. Ada angka 25,08% pemilih yang belum menentukan pilihannya.
Dari ribuan penonton acara debat, minimalnya ada setengah dari 25,08% orang yang belum memilih ikut menyaksikan. Harapannya usai acara debat mereka segera menentukan pilihannya dalam rangka mengapresiasi siapa kandidat yang benar-benar memiliki kapasitas.
Bagi kandidat yang punya kendala komunikasi publik akan kerepotan mengikuti acara debat, dan itu berdampak buruk pada penilaian publik selanjutnya. Alih-alih mendapatkan tambahan simpati suara, gegara gagal berdiplomasi atau kalah berdebat justru berdampak berkurangnya dukungan
Acara debat adu gagasan menjadi standar kelayakan kapasitas calon kepala daerah. Karena kapasitas dan “isi tas” meskipun beda tipis namun sesuatu hal yang berbeda jauh. Kandidat kepala daerah yang tidak memiliki kapasitas sebagian menutup kekurangan tersebut dengan kemamampuan isi tasnya. Membeli suara pemilih bahkan tidak menutup kemungkinan bertransaksi dengan wasit.
Jika sosok tersebut yang kemudian dinyatakan menang, jangan pernah bermimpi Mimika 5 tahun ke depan maju dengan APBD jumbonya. Karena berapapun angkanya akan habis untuk membayar tagihan investasi politik berwujud isi tas***
—–
Purbo Satrio – Pengamat Politik Litbang Demokrasi