Kontroversi uang ganti rugi (UGR) tol Cisumdawu yang tersimpan di Bank BTN hingga hari ini belum diserahkan, berpotensi menimbulkan persoalan sosial baru. Warga dan ahli waris pemilik sah lahan yang kini telah berubah menjadi jalan tol setiap waktu bisa menduduki bekas lahannya lagi.
Praktisi Hukum Herman Thahir, S.H, M.H menyampaikan pandangannya terkait polemik lintas institusi yang berdampak pada kepentingan masyarakat. Herman menyampaikan kekhawatiran atas ketidakpastian hukum pembayaran UGR Tol Cisumdawu senilai 329 Milyar. Menurut Herman, Bank BTN menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas UGR yang kini masih mengendap di Bank BTN.
“Alasan BTN menolak menyerahkan UGR karena ada surat permohonan pemblokiran dari Kejari Sumedang bukan sebuah dasar hukum. Sementara warga yang telah mendapatkan cek pencairan berdasarkan perintah penetapan dari PN Sumedang adalah dasar hukum yang sah” ungkap Herman kepada awak media yang menghubunginya.
Dalam berbagai pemberitaan Kejaksaan Negeri Sumedang mengkaitkan UGR milik ahli waris dengan kasus Tipikor Dadan cs yang secara hukum tidak ada hubungannya dengan ahli waris maupun UGR. Herman berpendapat penolakan Bank BTN menyerahkan UGR akan semakin memperumit persoalan.
“Seharusnya Bank BTN tidak perlu ikut campur dalam kasus hukum yang sekarang sedang bergulir dengan menahan UGR. Kewajiban Bank hanya mentransaksikan uang atas perintah sah pemilik rekening (PN Sumedang-red). Jika PN Sumedang sudah mengeluarkan perintah bayar konsinyasi, secara hukum status UGR sudah lepas dari Pengadilan. Jika kemudian tidak diserahkan kepada yang berhak artinya Bank BTN menguasai dana tanpa payung hukum” jelas Herman.
Herman kemudian menjelaskan potensi kegaduhan lain jika persoalan UGR semakin berlarut-larut tanpa kepastian hukum.
“UGR itu sah milik ahli waris, bukan hasil Tipikor yang sedang ditangani Kejaksaan. Jika kemudian warga memutuskan turun ke tol untuk menduduki lahannya sendiri yang belum dibayar, maka Bank BTN menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Warga tahu status hukum UGR bukan lagi di Pengadilan Negeri, atau di bawah penyitaan Kejaksaan. Tetapi dikuasai sepihak oleh Bank BTN tanpa dasar hukum. Tanpa payung hukum justru dapat dilaporkan ke aparat kepolisian menguasai milik orang lain tanpa hak, BTN terkesan ingin menikmati dana murah”, tegas Herman.
Herman menyampaikan harapannya kepada Pengadilan Negeri untuk bertindak tegas atas sengkarut kebijakan yang diprediksi akan semakin meluas dampaknya.
“Ketegasan PN Sumedang menyikapi kasus wanprestasi Bank BTN mutlak dibutuhkan, utamanya demi kepentingan masyarakat. Mekanisme kerja sama penitipan dana konsinyasi ada di ranah Mahkamah Agung, jika Bank BTN dinilai tidak mentaati aturan kerjasama maka lembaga peradilan bisa mengalihkan penempatan dana ke bank pemerintah lain untuk menampung dana konsinyasi. BTN akan kehilangan dana murah hasil kerjasama konsinyasi” kata Herman.
Diakhir pembicaraan Herman berpesan agar PN Sumedang konsisten melindungi Proyek Strategis Nasional, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
“Pengadilan wajib membuat penetapan konsinyasi baru dan memindahkan UGR tersebut di Bank pemerintah lainnya” pungkas Herman***(Red)