SEMARANG, kabarnusa.id – Hujan yang mengguyur Kota Semarang, yang bertepatan dengan tradisi Kirab Dugderan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1445 H, menjadi keramatnya Masjid Agung Kauman Johar, Kota Semarang.
Hal itu diungkapkan Ketua Takmir Masjid Agung Kauman Johar Kota Semarang, KH Hanief Ismail kepada Wartawan usai Kirab Dugderan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan 1445 H, di Masjid Agung Kauman Johar, Sabtu (09/03/2024).
“Ya mungkin ya, biasanya memang pengumuman (awal puasa) itu di sini, kemudian tahun lalu diumumkan di alon-alon, barangkali hujan ini berkahnya disuruh kembali lagi ke Masjid, jadi ini keramatnya Masjid ini,” ujar KH Hanief Ismail.
Dikatakan pula, bahwa kirab Dugderan itu merupakan tradisi warisan Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat sejak menjabat, tahun 1881 silam, yang terus dilestarikan setiap tahun menjelang hadirnya bulan suci ramadhan, hingga tahun 2024 ini
“Upacara hari ini itu merupakan tradisi Dugderan, yang sudah berjalan sejak lama sekali. Artinya lama sekali itu sejak jaman Tumenggung Aryo Purboningrat. Oleh karena itu, kita ingin nguri-nguri tradisi ini bisa berjalan tiap tahun, sekaligus untuk mengingatkan bahwa dengan akan masuknya bulan suci ramadhan, maka umat muslim harus siap-siap mental,” terang KH Hanief Ismail.
Yang dimaksud siap mental, lanjutnya, artinya yang disimbolkan dengan Warak Ngendog (Warak Bertelur), itu merupakan simbol untuk menghadapi bulan suci ramadhan, yaitu sifat-sifat yang jelek, seperti angkara murka, tamak, saling bermusuhan itu harus dibalik. Maksudnya selama menjalankan puasa ramadhan harus jadi pemaaf, makan tidak sembarangan, harus dikendalikan dan selalu saling memaafkan sesama.
“Sehingga nanti pada akhir bulan ramadhan akan menghasilkan seperti telur, yaitu makhluk yang masih suci, sehingga orang yang berpuasa ramadhan dengan benar, bisa kembali suci kembali ke fitrahnya yaitu tidak punya dosa lagi. Itu tradisi seperti itu yang diuri-uru (dilestarikan),” paparnya.
Sebagai informasi, Warak Ngendog sebagai simbol Dugderan, merupakan binatang imajiner yang menunjukkan akulturasi budaya Kota Semarang sejak zaman dahulu kala. Kegiatan kebudayaan ini, juga sebagai bentuk toleransi tinggi antarumat beragama, antar etnis yang ada di Kota Semarang. Apalagi kala itu, Semarang menjadi lokasi strategis dalam melakukan syiar agama Islam.
Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu meyakini, kegiatan kebudayaan Kirab Dugderan dengan kolaborasi dan akulturasi budaya ini, baru Kota Semarang saja yang memiliki prosesi seperti ini.
“Tentunya kami berharap bisa lancar semua proses dari Balai Kota kemudian Masjid Agung Semarang kemudian Masjid Agung Jawa Tengah. Pembagian kue ganjel rel dan kue keranjang ini juga menjadi wujud akulturasi budaya antara masyarakat Jawa, keturunan Arab, keturunan Tionghoa, dan keturunan Melayu. Tentunya akan menjadi satu rangkaian yang sangat dinantikan masyarakat,” urai Mbak Ita sapaan akrabnya.
Apalagi, imbuhnya, dengan adanya keikutsertaan warga Tionghoa, karena berdekatan dengan perayaan tahun baru Imlek, prosesi Dugderan kali ini terlihat semakin lengkap.
“Ada arak-arakan pasukan berkudo atau pasukan prajurit 40-an. Ditambah ada pembagian kue keranjang dari Paguyuban Tionghoa, selain kue ganjel rel yang ada di Masjid Agung Semarang dan dibagikan di Aloon-Aloon, karena masih jaraknya berdekatan dengan Imlek,” imbuh Mbak Ita.
Absa