Kabarnusa.id – Jatim | Momentum peringatan Sumpah Pemuda seringkali ditafsirkan bersatunya aneka suku, adat, budaya dan Agama untuk terlepas dari belenggu penjajahan. Rasa Nasionalisme sama-sama ingin merdeka menjadi perekat kebhinekaan tersebut.
Apa yang terjadi kini setelah Indonesia menapaki jalan kemerdekaannya? Berikut wawancara awak media dengan Ketua Umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB) AR Waluyo Wasis Nugroho (Gus Wal) dalam diskusi kebangsaan menyambut 96 tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 2024
“Awal abad ke 19 tepatnya tahun 1928, negara Indonesia belum lahir. Namun semangat persatuan sudah mulai dicanangkan oleh kaum pribumi. Apa pendapat Gus Wal terkait momentum pergerakan pada saat itu?”
“Pada saat itu keinginan besar penghuni bumi Khatulistiwa, sebelum Indonesia lahir hanya satu. Yaitu terlepas dari belenggu penjajahan yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Para pemuda pribumi dari bermacam kerajaan, suku dan lintas Agama merasakan penderitaan menjadi bangsa terjajah. Disedot kekayaan alamnya, dipekerjakan di tanah air sendiri menjadi bentuk pembunuhan generasi secara perlahan-lahan. Cita-cita mereka untuk merdeka dan mengentaskan kemiskinan mempunyai musuh yang sama, yaitu Kolonialisme dan Imperialisme”
“Setuju, Gus. Dan upaya pergerakan kemerdekaan tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan. Jika kemudian berhasil melahirkan deklarasi Sumpah Pemuda, apa yang menjadi perekat satu tekat mereka?”
“Utamanya adalah kecintaan mereka pada tanah airnya sendiri. Menjadi budak di negeri sendiri yang kaya raya itu sungguh menyakitkan. Nasionalisme pada waktu ada dalam pikiran kaum pribumi terpelajar. Untuk mewujudkan kemerdekaan diri sendiri butuh menyatukan banyak pihak termasuk kaum jelata yang selama ini pasrah tidak mampu melakukan apa-apa. Ikrar Sumpah Pemuda menjadi titik awal bahwa kemerdekaan sejati hanya bisa didapat dengan perjuangan, bukan hadiah atau balas jasa dari penjajah”
“Jadi boleh dikatakan mereka yang ber-Sumpah Pemuda belum berpikir tentang sebuah negara?”
“Persatuan menjadi embrio pergerakan untuk merdeka, selanjutnya membentuk negara adalah proses pengakuan kedaulatan berbangsa. Bangsa yang merdeka selanjutnya harus berdaulat agar tidak terulang lagi upaya penjajahan”
“Ok, Gus. Jadi kronologisnya kita bersatu dulu, kemudian membentuk negara untuk mendapat pengakuan kemerdekaan. Pertanyaan selanjutnya setelah merdeka sudah cukupkah tanggung jawab kita pada persatuan?”
“Persatuan itu bukan benda mati, tetapi situasi dinamis yang terjadi seiring berjalannya waktu. Menjaga persatuan menjadi tanggung jawab selanjutnya sebagai anak bangsa. Anda bisa lihat beberapa tahun belakangan ini. Adakah yang terganggu dari persatuan kita?”
“Ya, ada sedikit upaya memecah belah, bukan dari bangsa penjajah tetapi dari bangsa kita sendiri”
“Betul, penjajah yang datang bukan lagi memegang senjata, peluru, bom untuk melumpuhkan pertahanan kita. Mereka datang membawa paham ideologi yang disusupkan kepada generasi muda kita”
“Paham ideologi seperti apa yang datang dan dianggap merusak persatuan dan kesatuan kita,Gus?”
“Wahabi, Takfiri dan khilafah. Itu 3 ideologi dari luar yang begitu masif disusupkan melalui jalur agama. Persatuan dan kesatuan kita menerima kebhinekaan rusak, karena paham itu anti perbedaan. Dari ketiga paham tersebut munculah dai provokator, penceramah radikal yang menyebarkan paham kebencian kepada orang yang tidak sepaham. Bibit intoleransi lahir selanjutnya mereka hidup dalam kemarahan pada situasi menghancurkan apapun yang menghalangi keyakinan mereka. Teroris menjadi upaya jihad dengan janji masuk surga. Perang saudara menjadi cita-cita mereka dan ketika negara hancur mereka muncul mendirikan negara baru.
“Sebegitu dahsyatnya pengaruh paham bisa merusak ideologi kebangsaan kita yang telah susah payah dipersatukan sejak 1928? Apa upaya PNIB dalam menyikapi situasi yang sudah serupa api dalam sekam ini, Gus?”
“PNIB akan terus berupaya menghadang mereka, konsisten memberikan kesadaran pada generasi mudah bahwa kita sedang dijajah paham asing. Karena sedetik kita berhenti berpikir terjajah, maka kita sudah kalah, itu saja” pungkas Gus Wal.***