Scroll untuk baca berita
ArtikelPolitik

Menanti Putusan MK 22 April 2024, Demokrasi Selamat Atau Mundur Jauh ke Belakang

213
×

Menanti Putusan MK 22 April 2024, Demokrasi Selamat Atau Mundur Jauh ke Belakang

Sebarkan artikel ini

Tujuan utama pendidikan politik adalah membantu individu menjadi warga negara untuk mendapatkan pengetahuan tentang sistem politik, hak dan kewajiban mereka dalam masyarakat dan memutuskan pilihan pemimpin terbaik melalui proses politik dalam pemilihan umum yang demokratis, jujur dan adil.

Apa yang kita saksikan pada persidangan sengketa perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah semata persoalan hukum. Namun ini sekaligus sebagai pembelajaran dan pendidikan politik mengingat konsekuensi kita memilih jalan demokrasi. Demikian disampaikan Ketua Umum Presidium Nasional Jangkar Baja, I Ketut Guna Artha yang disapa Igat (8/04/2024).

“Politik merupakan upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Agar politik berlangsung baik maka harus dilandasi nilai-nilai, etik, moralitas dan kepatuhan terhadap aturan (konstitusi, undang-undang) dan supremasi hukum,” Igat.

Prinsip negara hukum ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Kemudian dipertegas dalam Penjelasan Umum UUD 1945 bahwa 1) Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat), 2) Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) dan tidak bersifat absolut (kekuasaan yang tidak terbatas).

Adapun proses politik (tahapan pemilu) telah berlangsung melalui penetapan rekapitulasi hasil oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) namun konstitusi masih memberi ruang proses hukum perselisihan hasil pemilu di MK yang saling terkait dengan keabsahan hasil pemilu 2024 dan demi kepastian hukum.

Tahapan persidangan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 di MK telah berakhir pada Jumat, 5 April 2024. MK akan memutus perkara tersebut pada Senin, 22 April 2024.

Sebelum hakim MK memutus perkara, MK memberi kesempatan tim hukum pihak pemohon Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh tim 01 Anies-Muhaimin dan tim hukum pihak pemohon Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan oleh tim 03 Ganjar-Mahfud serta pihak terkait paslon 02 Prabowo-Gibran, untuk menyerahkan kesimpulan pada 16 April 2024.

“Menurut Igat legitimasi hasil pilpres 2024 penting untuk membangun optimisme menuju Indonesia emas 2045. Demokrasi bukan soal kalah menang, karena itu pasti dalam sebuah kontestasi. Tapi pemilu yang jujur dan adil yang kita dambakan adalah tanpa melanggar konstitusi, tanpa intervensi kekuasaan, tanpa penyalahgunaan kekuasaan. Maka palu Hakim MK tanggal 22 April 2024 nanti akan dicatat sebagai sejarah penting perjalanan demokrasi untuk peradaban masa depan bangsa Indonesia,” tegas Igat.

Igat berharap mengingat prinsip hukum Indonesia menganut “civil law system” maka hakim MK tidak terpengaruh dengan kebiasaan putusan-putusan sebelumnya bahwa “MK tidak pernah putuskan pilpres ulang” atau misalnya “MK tidak pernah batalkan hasil pemilu”.

“Melihat kronologi vonis pelanggaran etik kepada Ketua MK dan Ketua KPU serta “legalisasi” penggunaan APBN dengan Perpres dan SK Menteri Keuangan yang digelontorkan di masa kampanye serta mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga perangkat desa yang secara masif mempengaruhi hasil pemilu agar dijadikan pertimbangan hakim MK sebagai pelanggaran pemilu 2024 ini memenuhi katagori “terstruktur, sistematis dan masif (TSM)”,” Igat.

“Dengan menghadirkan keterangan saksi lembaga survey dan empat menteri, kami berharap hakim MK menemukan fakta-fakta dan cermat dan bijaksana dalam menilai keterangan saksi sebagai petunjuk yang memenuhi pelanggaran yang “terstruktur dan sistematis” sebagai “cawe-cawenya” presiden Jokowi memanfaatkan sumber daya negara untuk pengaruhi hasil pemilu. Kemudian lanjutnya dengan mempertimbangkan pernyataan Prof Yuzril Ihza Mahendra bahwa ada “penyelundupan hukum” dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinilai adanya “kecacatan hukum”. Dengan status “kecacatan hukum” tersebut bagaimana legitimasi pemerintahan “pemenang pilpres” dari proses cacat hukum?,” tanya Igat.

“Oleh karena itu MK harus berani mengambil keputusan yang progresif diluar kebiasaan sebagai tekad mengembalikan kewibawaan MK sebagai benteng terakhir keadilan dan hukum. Harapan kami MK mengabulkan minimal sebagian dari gugatan pemohon untuk membatalkan/mendiskualifikasi Gibran dan memutuskan pilpres ulang atau pemungutan suara ulang yang mengikutsertakan Prabowo dengan pasangan cawapres baru pengganti Gibran,”

“Dengan demikian pilpres ulang atau pemungutan suara ulang kembali dilangsungkan dengan 3 pasang capres cawapres yaitu 01 Anies – Muhaimin, 02 Prabowo – (pengganti Gibran), 03 Ganjar – Mahfud,” tutup Igat.***(Prass)

Jasa Pembuatan dan Maintenance Website Murah

Tinggalkan Balasan