Di negeri ini, angka-angka selalu lebih nyaring dari nurani. Mereka hadir di layar presentasi, di lembar kerja birokrasi, di podium konferensi pers: defisit fiskal 2,8% PDB, angka yang tampak sepele di benak politisi, tapi sesungguhnya adalah pertanda bahwa negeri ini semakin hari semakin hidup dari utang.
Utang telah menjadi candu yang dilegalkan. Setiap tahun kita menambalnya dengan surat berharga yang mahal bunganya, dengan utang yang disulap menjadi kata-kata manis: pembiayaan pembangunan. Padahal kita semua tahu, itu bukan membangun. Itu sekadar menunda hari kiamat fiskal dengan merobek masa depan anak cucu.
Harga minyak dunia bergejolak, kurs ringkih bergoyang di bawah bayang-bayang The Fed, dan penerimaan pajak ambruk 30% karena harga sawit dan batu bara tak lagi bersinar. Namun para pejabat tetap tersenyum, menyembunyikan kegagapan mereka di balik retorika “optimisme fiskal”.
Lalu apa yang mereka lakukan? Pajak. Selalu kembali ke pajak. Pajak adalah tongkat sihir yang mereka acungkan tiap kali defisit menjerit. Tapi mereka lupa, di ujung lain tongkat itu adalah rakyat—yang sudah terlalu lama diperas tanpa pernah benar-benar diberi keadilan.
Keadilan Pajak yang Tak Pernah Tiba
Pajak selalu dijual sebagai kontribusi suci demi bangsa. Tapi benarkah? Saat yang kaya punya seribu cara menghindar, yang kecil dipaksa tunduk tanpa pilihan. Tax gap kita 6-9% PDB, atau lebih dari Rp 1.300 triliun uang yang hilang entah ke mana—ke surga para konsultan pajak, ke lubang hitam trust fund, ke jaringan shadow finance yang tak tersentuh hukum.
Lalu, mengapa solusinya bukan menertibkan yang besar? Mengapa justru membuka ladang pajak baru dari mereka yang belum kuat berjalan? warung pinggir jalan, UMKM yang barusan bangkit dari pandemi—mereka yang dipaksa ikut menanggung beban negara, padahal mereka sendiri sering terabaikan dari pembangunan yang konon dibiayai dari pajak. Beginilah wajah ketidakadilan fiskal di negeri ini: yang besar pandai sembunyi, yang kecil tak pernah diberi ruang bersembunyi.
Bukan Perluasan Objek, Tapi Perbaikan Moral Fiskal
Solusi sesungguhnya sederhana, tapi memang tak semua pemerintah punya keberanian.
Bukan memperluas pajak, tapi memperbaiki sistem yang sudah bobrok sejak lama.
Bukan mencipta aturan baru, tapi menegakkan hukum yang sudah lama dikhianati.
Modernisasi sistem pajak, bukan sekadar slogan digitalisasi yang gagal berjalan karena korupsi perangkat lunak. Penegakan hukum yang tak tebang pilih, bukan audit formalitas yang hanya jadi alat intimidasi bagi yang lemah. Pendidikan pajak yang mencerdaskan, bukan sekadar kampanye iklan tentang “Pajak Keren” yang jauh dari kenyataan.
Dan paling penting, pengelolaan fiskal yang jujur. Jangan lagi menjadikan pajak sebagai tambal sulam APBN yang bocor oleh rente proyek, subsidi salah sasaran, atau BUMN yang gagal dikelola tapi tetap disuntik modal negara. Pajak bukan pembenaran atas kegagalan berpikir panjang.
Negeri yang Wajib Berkaca
Defisit hari ini adalah cermin dari ketidaktegasan kemarin. Utang hari ini adalah warisan dari rasa malas membenahi sistem. Menambah pajak hari ini, tanpa perbaikan esok, hanyalah membangun rumah di atas pasir rapuh.
Di ujungnya, rakyat akan lelah. Investor akan menjauh. Ekonomi akan tersedak oleh crowding out yang kian nyata: pajak tinggi, bunga utang mencekik, ruang gerak usaha mati perlahan.
Fiskal yang sehat bukan dibangun dari perluasan beban. Ia dibangun dari keberanian menertibkan yang selama ini hidup nyaman di balik kelonggaran hukum.
Jika negeri ini ingin tetap punya masa depan, belajarlah berkata jujur pada diri sendiri: bukan rakyat yang malas bayar pajak. Tapi negara yang malas menata keadilan, memiskinkan koruptor.
Penulis : Erizeli Jely Bandaro