Jakarta – Kabarnusa.id | Pengelolaan limbah tailing tambang PT Freeport Indonesia dalam konsep menjaga lingkungan memang didesain untuk dibuang ke laut.
Desain Environment Management tersebut bisa disimak di halaman resmi PTFI. Tailing yang berupa material pasir dialirkan ke area dataran rendah menuju pesisir. Sungai Ajkwa yang berhulu di wilayah Tembagapura menjadi titik awal area pembuangan limbah tailing.
Disebut dengan istilah Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasi (ModADA), tailing mengalir ke bantaran sungai membentuk endapan di wilayah Mimika. Sebuah area endapan raksasa terbentuk serupa padang pasir di sisi timur Kabupaten Mimika.
Luas endapan menurut catatan Environment Central System and Project PTFI mencapai 23.000 hektar, dengan lebar 5 kilometer. Sementara dalam pengukuran menggunakan citra satelit 2025 luasnya tercatat hampir mencapai lebih dari 40.000 hektar
Metode ModADA yang mengalir ke arah pesisir terpantau dari pembangunan tanggul 2 tanggul di sisi barat sepanjang 58 km dan sisi timur 55 km. Pantauan pada awal tahun 2025 ujung endapan tailing sudah berada di daerah Jerimami, Distrik Mimika Timur Jauh. Jaraknya ke laut Aru hanya tinggal 20 km.
Direktur Strategi Kebijakan Libang Demokrasi, Irham Haros, ST menyampaikan analisanya terkait pengelolaan limbah PT Freeport. Irham menilai kebijakan ModADA hanya menunda waktu kerusakan ekosistem yang lebih luas.
“Kalau memang tujuan tailing dibuang ke laut kita tinggal menunggu waktu saja. Tanggul sepanjang 50 km jadi pembatas untuk tidak melebar ke kawasan hutan. Namun 40.000 hektar area yang kini berubah menjadi endapan adalah kerusakan hutan dan ekosistem yang sudah terjadi” ungkap Irham
Material tailing yang diperkirakan depositnya mencapai 2,6 milyar ton dalam rilis Kementerian Lingkungan Hidup sudah bukan termasuk limbah B3 (Bukan Bahan Beracun). Menurut Irham deposit material yang begitu besar tetap sebuah bahaya bagi ekosistem.
“Catatan deposit 2,6 milyar ton itu bukan statis, tetapi setiap hari bertambah selama PT Freeport masih beroperasi. Pemanfaatan tailing selama ini hanya bersifat temporer untuk infrastruktur dan material bangunan. Masih kalah cepat dengan kiriman 240.000 ton per hari dari Tembagapura” kata Irham.
Kerusakan ekosistim di darat yang tinggal menunggu waktu sampai ke pesisir menjadi persoalan besar bagi pemerintah daerah Mimika. Pemerintah Daerah Mimika harus segera mengambil kebijakan strategi suntuk mengatasi persoalan tailing.
“Bupati Mimika terpilih Johannes Rettob sebagai pemangku kebijakan mesti segera berbenah. Beberapa investor sudah berminat mengambil tailing dalam skala industri besar. Tinggal jalin kerja sama dengan skema BUMD dan tailing jadi punya nilai ekonomis” pungkas Irham memberi solusi kebijakan.
***
Jurnalis : Dahono Prasetyo