Dalam satu anasir yang sempat mengemuka dalam politik adalah memilih pemimpin yang seiman menjadi sebuah fatwa sosial. Namun paham tersebut membelah menjadi dimensi lain saat pilihan sosok calon pemimpin tersebut sama-sama berasal dari satu iman, sama-sama Muslim. Mana yang harus menjadi prioritas pilihan?
Sebagai partisipasi aktif demokrasi, Pilkada serentak 2024 melahirkan fenomena munculnya bacalon dari berbagai unsur, salah satunya entitas Kiai yang maju menjadi calon kepala daerah. Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah salah satu calon Bupatinya KH Khairullah Al-Mujtaba (Gus Itab) berstastus Kiai sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Al Asy’ariyyah Kalibeber Wonosobo. Gus Itab akan berhadapan dengan calon bupati berstatus incumbent, Mohammad Afif yang didukung koalisi besar 12 parpol.
Dalam kaca mata berdemokrasi, warga Wonosobo yang dibutuhkan suaranya untuk menentukan calon pemimpinnya, berhadapan dengan dua kandidat yang sama-sama dari kalangan Muslim. Sebagai kabupaten dengan mayoritas 80% penduduknya beragama Islam, ada sedikit pertimbangan dalam rangka menjawab pertanyaan : Mana yang harus menjadi prioritas pilihan?
Meskipun Pilkada yang merupakan proses Politik, namun tidak lepas dari status awal yang disandang masing-masing calon. Politikus sekaligus birokrat, Mohammad Afif berhadapan dengan seorang ulama KH Khairullah Al-Mujtaba melahirkan aneka prespektif. Namun dalam kaca mata penulis, proses demokrasi yang sesungguhnya sedang berlangsung di Pilkada Wonosobo.
Seorang kyai yang memutuskan terjun ke dunia politik akan membawa pertaruhan entitas gerbong dukungan dari mayoritas pendukung berbasis Agama. Berbicara politik dalam bingkai “kiai”, Musta’in Syafi’i dari Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang sempat menyampaikan definisinya. Kiai yang berpolitik memiliki kelebihan kejernihan dalam melihat berbagai persoalan berdasarkan kacamata Ketuhanan (al-‘ain al-bashirah) lebih kuat dibandingkan mata duitan (al-‘ain al-bisyarah). Sosok Kyai mempunyai pandangan jauh ke depan dibanding sosok politikus. Meskipun dalam realitanya, kedua “kaca mata” tersebut akan menjadi 2 kutub berlawanan yang saling tarik ulur, pilihannya kembali kepada nurasi sang kiai.
Peran seorang kiai demikian strategis dan dianggap sangat sentral dengan kompleksitas kiprahnya yang tidak bisa dianggap remeh dalam menentukan warna sekaligus dinamika perpolitikan kita saat ini. Sebelum terjun ke dunia politik, kiai sebagai asset agama memiliki pesona keteladanan yang diakui membuatnya layak menyandang gelar “kiai”
Merujuk pada pemahaman Agama bahwa politik bagian dari ibadah, maka disinilah Kiai memiliki peran penting. Jika anggapan politik itu kotor, jorok, penuh intrik, saat berada dalam jalan ibadah seorang kyai, maka tanggung jawabnya adalah meluruskan bengkokan dengan pendekatan budaya dan religius. Konotasi negatif politik jika tidak ada yang berinisiatif meluruskan maka akan semakin dianggap biasa, dan berujung sebuah kewajaran dari budaya politik kita.
Warga Wonosobo saat ini justru dihadapkan pilihan yang tidak lagi samar. Calon Bupati dari sosok politikus atau sosok Kiai. Keduanya memiliki banyak dinamika untuk sebuah konstelasi politik. Gus Itab hanya didukung 2 Partai Politik melawan Afif dengan segerbong dukungan politik dan tentunya logistik yang melimpah. Minimalisnya dukungan segi politik dan biaya yang dimiliki Gus Itab bisa berubah menjadi kelebihan, jika jeli memanfaatkan momentum kebangkitan nurani warga Wonosobo yang kabarnya sudah jenuh dipimpin oleh sosok politikus.
Saatnya Wonosobo berubah, bukan saatnya Wonosobo melanjutkan yang seadanya***
Penulis : Dahono Prasetyo – Litbang Demokrasi