Yogyakarta – Kabarnusa | Sebagai kota pelajar sekaligus kota wisata, Yogyakarta memiliki fenomena sosial yang berbeda dibanding daerah lain. Arus pendatang dari berbagai penjuru untuk menempuh pendidikan berbaur dengan wisatawan, baik lokal maupun manca negara. Salah satu dampak sosial adalah peredaran minuman keras (miras) yang pararel dengan kebutuhan wisatawan, namun menjadi dilema bagi pendatang berstatus pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya sepertiga jumlah penduduk kota gudeg .
Peraturan Daerah (Perda) miras Pemkot Yogyakarta sedang dirancangan dalam pembahasan untuk direvisi. Salah satu poin pembahasan adalah perluasan peredaran dan distribusi dengan persyaratan khusus. Kadar alkohol menjadi ukuran lokasi penjualan dan peredarannya. Sementara minuman berkategori oplosan dilarang untuk mengedarkan, menyimpan, menjual dan atau mengkonsumsi.
Bakal calon wakil walikota Yogyakarta dari PDI Perjuangan, Fokki Ariyanto menanggapi rancangan pembahasan Perda yang bertajuk : Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan Pelarangan Minuman Oplosan. Menurut Fokki Raperda tersebut lebih berorientasi memberdayakan bisnis miras yang beromset besar tiap bulannya, daripada mengendalikan.
“ Pelarangan memproduksi, menyimpan dan mengkonsumsi minuman berkategori oplosan itu jelas akan mematikan industri miras tradisional yang ada di Yogyakarta. Sementara miras beralkohol dan bermerek tidak dibatasi, tapi justru diperluas dengan perijinan berdasarkan spesifikasi kandungan alkoholnya. Di Bali minuman arak tidak dilarang tapi diberi ruang diproduksi dan dikonsumsi dengan standar kearifan lokal dan pengawasan BPOM” jelas Fokki saat menyampaikan tanggapannya atas Raperda miras yang sedang dibahas di DPRD Kota Yogyakarta.
Menurut Fokki persoalan miras yang komplek pada akhirnya harus berhadapan pada pilihan keberpihakan. Produksi miras tradisional dalam kategori oplosan yang selama ini menjadi kompetitor industri minuman beralkohol impor seharusnya sama-sama diawasi, bukan dilarang karena pertimbangan tidak bermerk resmi.
“Draft rancangan Perdanya sangat berpihak pada kapitalis produsen miras. Mematikan UMKM miras tradisional yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat kelas bawah. Definisi oplosan juga diskriminatif pada miras tradisional. Padahal miras bermerek juga sering disajikan secara oplosan dengan mencampurkan beberapa jenis” imbuh Fokki di sela kunjungan blusukannya ke pedagang kaki lima seputar Malioboro.***(Red)